Jam sudah
menjadi dingin, detaknya membeku, jarum-jarumnya hanya mendengung meminta
kehangatan. Ia berhenti pada tiga pagi.
Kepalaku
terus saja bedenyut sedari pagi, tak juga demam. Seperti ada yang mengetuk-ngetuk
kepalaku seakan ingin keluar dan meronta meminta kebebasan, berteriak, menangis
sampai benar-benar mati.
“Sampai
kapan ini, tak ada yang pasti, setiap malam menggerutu, ingin mati dan mati
saja” Suara itu terus muncul pada tiga pagi. Berulang setiap hari, seperti sudahh
terjadwal dan terjaga.
Aku juga tak
tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Aku selalu menyesali hal-hal yang
terjadi, menangisinya, mengabaikanya, menangisi lagi, mengabaikanya lagi. Semuanya
itu menumpuk menjadi gunung yang siap untuk meledak dan aku akan pecah
berkeping-keping. Hidup mati lalu hidup lalu mati hidup lagi mati lagi.
Tak ada
yang membuatku benar-benar tenang, sekalipun itu mimpi pada tidur yang begitu
bias. Bayangan soal ketenangan aku saja tidak ada. Setiap hari menjalani hidup
tanpa gairah, tanpa tahu kemana berlabuh, tanpa tahu jadi apa, untuk apa, pada
siapa, dan kenapa. Yang aku tahu, kematian adalah ketenangan yang abadi. Sekalipun
neraka adalah tempatku, setidaknya aku tahu siapa aku dan alasan-alasan aku
tersiksa. Daripada hidup pada dunia yang terus saja tanda tanya, tak tahu jawabnya,
terus tersiksa, terus bertanya, terus saja terus. Ah indahnya kematian.
Tuhan, aku
tahu sekarang kamu sedang ada di hatiku, berilah setidaknya petunjuk untuk apa
aku disini. Kegelisahan semakin besar, semakin tak karuan, Tuhan aku sudahh pusing,
pusing sekali, aku tak tahu lagi mana yang benar mana yang salah, mana yang
membenarkan mana yang menyalahkan. Tuhan jemput aku dimanapun itu, dengan cara
apapun itu. Tuhan peluk aku, Tuhan peluk aku, aku ingin menangis dan berbicara
semua yang aku rasakan tanpa ada batas apapun aku berbicara. Tuhan, oh Tuhan,
Tuhan. Peluk aku Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar