Rabu, 27 November 2019

DARI BEBERAPA MANUSIA

DARI BEBERAPA MANUSIA


Ini adalah kumpulan puisi yang saya tulis dari rangkaian keluh kesah manusia yang mampir di telinga saya, walaupun sebenarnya masih banyak kisah yang dari orang-orang yang belum saya muat disini. Setidaknya ini akan mewakili perasaan mereka. Ada beberapa kisah yang saya angkat disini dan dengan latar cerita yang berbeda-beda pula. Dari beberapa orang yang mencurahkan hatinya ke saya kebanyakan bercerita tentang persoalan kisah cintanya yang kandas.Mohon maaf bila di tulisan ini masih banyak kesalahan atau kekurangan apapun itu. Saran dan kritik kalian akan sangat membantu untuk saya belajar :). Semoga bisa dinikmati.




KABAR LUKA

Udara mengirim kabar menyengat kalbu
Saat itu,
Dimana hari suci yang seharusnya bahagia
Murung melahap segala rasa
Tak ada lagi jernih di pikiran
Langkah bergetar tak karuan
Nafas sesekali tak teratur
Senyum yang seharusnya mesra
Kini tak ada
Tuhan merestui kamu di surga
Bukannya tak terima,
Hanya saja pesan yang ku rangakai,
Tak sempat kau baca

Alur yang kita buat
Sampai sudah menjadi titik
Catatan tentang waktu itu
Saat jemari kita menyilang erat
Saat percakapan kita di balai kota
Takan pernah terhapus
Abadi kenangan
Hadirmu adalah sejuk
Kepergianmu adalah tusuk

Berkenankah,
Rindu yang ku sampaikan lewat do’a
Dan mimpi kau menyapa
Karena,
Kita terhubung di lorong waktu yang sama

(saat dalam perjalanan ke jogja teman saya menceritaka tentang kisah asmara yang dialaminya dimana saat hari raya idul fitri tahun lalu dia mendapat kabar bahwa kekasihnya meninggal dunia.)
.
.
.
.
.
  
DI JALAN

Ku coba cari dalam belukar malam
Tentang apa yang di kehendaki
Atas dasar kegundahan keraguan

Di sela sudut kota
Tetesan air mata, nista
Berupaya reda dalam dingin
Terusik caci maki, berisik
Luluh oleh takdir yang getir
Sesuap nasi dilahap bersama
Miris.

Yang di singgahsana
Membuta,
Hanya menyapa
Tinggalkan janji
Lalu lupa atau ingkari
Tuli pada mereka yang dianggap dekil

Tak ada waktu minum susu
Apalagi menikmati mimpi
Hanya gelisah untuk esok
Tentang bertahan hidup
Atau tergeletak di trotoar

Gantungka cita cinta
Menagnggung beban nestapa
Telusuri jejak cakrawala
Dengan apa yang bagaimana

Di jalan,
Mereka butuh kemerdekaan
Oleh penjajahan para bangsawan

(waktu itu saat menulusuri jakarta dari tanah abang - kota tua, perjalan dari siang sampai malam saya bertemu beberapa orang yang mencoba bertahan hidup di emperan pertokoan hingga kolong under pass, saat singgah untuk istirahat di sebuah kaki lima yang menjual rokok dan kopi, saya berbincang dengan mereka yang hanya hidup menggandalkan belas kasih orang lain, mereka berbicara cukup serius kepada saya, yang kesimpulanya “kami tak ingin kaya kami hanya ingin di hargai”.)

.
.
.
.
TERJAGA

Entah apa yang berdesak di kepala
Runyam memelihara malam
Setengah dua tak ada do’a
Sepatah kata hilang di halaman
Sunyi menemani,
Bukan tentang patah hati
Hutang tak kunjung usai
Lembur yang mengguyur
Bukan, bukan itu
Alasan tak masuk akal
Alasan yang tak bisa dijabarkan
Seperti ingin berontak
Namun tak ada jiwa yang retak
Seperti ingin menangis
Namun rokok tak hentinya menggubris
Atau efek kopi yang terlalu pekat?
Entahlah mungkin kafein tak sepakat
Semua hanya tentang tanda tanya

Mimpi seperti tak ingin dinikmati
Malam mulai hancur berantakan
Aku juga tak tau darimana
Gerombolan angan yang bercabang
Membentuk alur yang paradok
Pupil mata tak bosan menggeliat

Waktu melambat dalam ruang
Aku terjaga untuk apa?
Bahkan aku tau ini sia-sia
Tapi jawabanya apa?
Tiba-tiba subuh melek saja


(khusus ini bukan dari per-orangan, ini masalah yang sering kita lakukan setiap malam lakukan di sebuah warung (tempat tongkrongan), keresahan tentang masalah hidup yang sering mengganjal di pikiran yang akhirnya jadi susah tidur, ya kita begadang. Oh ya untuk yang ini kemungkinan besar akan jadi sebuah LAGU dari peoplerooster (masih dalam proses)
.
.
.
.
.
SATU MINGGU, UNTUK ANAKKU

Dalam ramai malam ini
Dalam hening siang tadi
Dalam irama gitar yang mengalun sendu
Adakah yang lebih lugu dari raut mu?

Jarak kita hanya satu minggu
Namun sekian jam berlalu
Rindu sudah membujuk kembali
Tidak,
Aku hanya ingin kamu tumbuh berseri
Lewati detik yang akan mengusik
Menjadi lebih dari sekedar “Aku”

Tak perlu tahu tentang keringat ini
Terkoyak langkah demi upah,
Terkurung resah.
Jalan setapak yang mengelabuhi
Jalan terjal yang tak pernah memahami.
Kamu tak perlu tahu,
Biarkan semesta yang mejelaskan
Dalam besarmu yang di peluk mapan.

Selasa nanti kita rayakan rindu,
Aku bawa topeng yang kamu tanya
Kita nikmati sore dengan ombak
Akan aku ajarkan apa itu bebas
Bagaiamana berlari meraih bahagia
Bersyukur atas indah ciptaNYA
Dan aku menikmati tawamu
Ceriamu yang berlalu seminggu.

Karena alasan semangat adalah kamu
Obat lelahku adalah kamu
Bunga tidurku adalah kamu
Gambaran senyumku adalah kamu
Anakku.


(sebuah kerinduan dari seorang ayah kepada anaknya karena hanya bisa bertemu satu minggu sekali (seringya) karena harus bekerja di luar kota. Dalam satu minggu itu saya sering bertemu sama seorang ayah tersebut, dan dia terkadang menunjukan foto anaknya yang dikirim istrinya kepada saya sambil tersenyum bahagia.)
.
.
.
.
.
OLEH SEBUAH TATAP

Oleh sebuah tatap
Tergetar rasa entah apa
Seperti membangunkan mimpi-mimpi
Yang lama mati suri

Berhentilah tersenyum dalam lamunanku
Tak mau ku berterus luluh merindu
Walaupun hasrat seperti meronggai hati

Darimana mencoba lupa,
Sedangkan segala tentangmu terus mendesak mimpi
Tolonglah,
Aku tak tau bagaimana di depanmu
Mungkinkah,
Aku sudah buta oleh caramu berbicara

Kalaupun berterus terang adalah kebodohan
Mungkin aku mencoba bodoh untuk kali ini
Namun,
Aku tak mau menumbang hubungan
Tentang apa yang kau tumbuhkan
Dengan siapa atau apa dia aku tak peduli

Ku rasa hati ini menggila,
Oleh jiwa yang enggan menyapa
Entahlah,
Sepertinya kau mengabaikan
Tentang semua yang aku lontarkan
Sudahlah,
Mengertipun kau tetap sama
Menutup pintu itu
Agar tak bermusafir di hatimu.



( Keresahan yang banyak sekali teman-teman ceritakan kepada saya, tentang perasaan yang muncul dari sebuah tatapan. Namun justru itu jadi boomerang yang justru menjadi kegalauan bagi diri mereka sendiri, karena hanya di anggap sebelah hati )
.
.
.
.
.
.
MAFHUM

Kita pernah ada dalam ruang rona
Meredam segala keluh, berucap mesra
Hingga nalar tak mampu tercerna
Telapak tangan itu tak bersalam lagi
Kamu lepas tangan,
Tanpa sapa kau coba lupa

Aku lalui waktu yang berantakan
Hingga kabar tentangmu datang
Sebuah kenyataan pahit,
Kau telah di pinang

Perasaan yang sama namun tak semestinya
Aku mencoba mengerti,
Karena ada bulan yang harus kau sapa
Tak harap buat mu kembali,
Hanya ingin memastikan,
Yang kau rajut bukan benang kusut

Karena aku tahu segala utuhmu
Bagaimana kamu luluh di sela kepalaku
Bagaimana kamu tersenyum menyiasati pilu


( mungkin kalian tidak asing tentang puisi di atas, ini adalah awal dari terciptanya lagu MAFHUM dari peoplerooster (yang belum dengar bisa lihat di youtub), hanya saja saat di buat lirik lagu banyak kata-kata yang di ringkas dan di buang, namun tidak membuang makna dari puisinya. Jadi ini adalah puisi yang saya buat setelah seseorang bercerita tentang mantan istrinya yang akan menikah lagi )


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jam tiga

  Jam sudah menjadi dingin, detaknya membeku, jarum-jarumnya hanya mendengung meminta kehangatan. Ia berhenti pada tiga pagi. Kepalaku ter...