Bangku taman : Sendiri
Pada sore yang cahayanya semakin muram, aku mencoba menelan waktu dengan sedikit menulusuri kota yang makin hari makin menyepi. Bukan kotanya yang sepi sih lebih tepatnya nasibku, eh bukan nasibku juga, lebih tepat dan tepatnya adalah hati.
Menulusuri kota dengan sepeda motor matic buatan jepang yang cicilanya sampai titik darah penghabisan ini membuatku sedikit lebih tenang. Bukan tenang seperti minum bir dipinggir pantai, tapi lebih seperti bersyukur.
Bagaimana tidak, baru keluar gang saja pemulung yang badanya lebih seperti ikan kering itu sedang duduk bersama anak laki-lakinya yang sepertinya masih duduk di sekolah dasar, ya aku tahu karena celananya yg merah. dengan memegang perut yang sepertinya kosong, karena belum makan siang. kasihan sekali.
Di lampu merah, seorang ibu yang menggendong anaknya sambil bernyanyi itu juga terlihat kusam sekali. Astaga baunya benar-benar menyengat, sepertinya belum mandi berapa hari. Bagaimana mau mandi, lebih baik air bersih ia minum.
Di bawah jembatan flyover seorang ayah sedang menjajakan air mineral dan tisu pada para pelesir yang sedang menikmati sore, anak dan ibunya menunggu di gerobak yang usang dan reot itu.
Oh aku jadi kepikiran, kenapa di tempatku ini orang miskin harus tetap miskin, karena orang yang kaya jadi bisa bersyukur. Orang pemerintahan memang pintar. Membuat terobosan yang unik untuk bersyukur.
Tak lupa headset, yah itu sesuatu yang wajib harus aku pakai saat memulai perjalanan mengelilingi kota ini. Dengan alunan musik yang menggema di kepalaku ini. Aku merasa menjadi tokoh utama dalam sebuah film drama, yang tokohnya adalah pria yang berumur dan kesepian. Di umurku yang hampir berkepala tiga ini masih saja menikmati kegalauan yang kini mengakar.
“jauh perjalanan mencari intan pujaan, aduhai dimana puan mengapa pergi tanpa pamitaannnnnnn…….” lagu dari Sore Band ini mengiringi pemberhentianku pada sebuah Taman kota. Hampir setiap jumaat sore aku selalu mengunjungi tempat ini, hanya sekedar duduk dan merokok di bangku taman. Hembusan angin, pohon yang menguning, daun yang berserekan, dan suasana kota yang lalu lalang, menjadi relaksasasi batin yang sendu saat sendiri dalam keramaian.
Bangku taman ini seperti kapal waktu. Disinilah aku bisa mengarungi lautan masalalu. tentang pertemuan, percintaan, kebersamaan, kekeluargaan, kebahagiaan. Sebelum sampai pada samudera kesepian.
Di bangku taman, dan pria yang setengah waras,sendiri, kesepian.
Bangku taman : Berdua
Pada sore yang cahayanya menjingga, aku bergegas menuju taman kota. Dengan motor tua pemberian orang tua, yang jika di gas hanya bisa menyalip sepeda ontel saja. Tapi tak apa, justru karena motor ini lah aku bisa kenal dengan wanita yang akan aku temui di taman kota nanti. Katanya “aku suka klasik, karena yang klasik itu lebih asik”. Ya begitulah perempuan, berbohong untuk menenangkan pemuda miskin ini. Oh ya, Kata-kata itu keluar dari mulutnya saat aku mengantarkannya pulang setelah kerja. Mirisnya setelah kata-kata itu ia ucapakan, tak lama motorku mogok.
“klasik masih asik engga?” kataku meledek.
Ia cemberut, tapi manis
dan aku suka.
Di perjalanan saat menuju taman kota, hatiku berdenyut tak karuan. Padahal ini bukan kali pertama aku bertemu denganya. Kita sudah menjalin hubungan hampir dua tahun lamanya. Aku ingat sekali momen itu, pertama kali aku mengenalnya. Ia duduk di bangku taman, sendirian, dengan seragam kerja warna merah dan dandanan yang begitu aduhai. Di tangannya ada beberapa bungkus rokok. Aku mendekatinya.
“Mba beli rokoknya?”
“Oh iya ini mas”
“Satu aja nih mas? Ini ada promo kalau beli dua dapet korek loh”
“kalau beli tiga dapet nomornya mba engga?” aku meledek.
“mas, aku ini spg rokok. Bukan konter pulsa. Tapi ya udah deh”
“lah beneran, bukan nomor palsu kan? Engga bohongin kan?”
“mas, aku ini spg rokok, bukan DPR”
Ya begitulah, kita dipertemukan, romantis sekali bukan.
Aku sengaja kali ini tidak menjeputnya, aku meminta dia menunggu di bangku taman. Bangku yang sama saat pertama kali bertemu. Aku ingin pertemuan kali ini menjadi awal sebuah keseriusan yang paling serius.
Setelah melewati dua lampu merah yang sedang macet-macetnya, akhirnya aku sampai di taman kota. Dari kejauhan, aku sudah melihatnya menunggu di bangku itu. Rambutnya yang panjang dan terurai menambah sore ini semakin menawan. Bau parfumnya sudah semakin tercium di hidungku. Aih, aku berjalan gemetar. Kenapa aku segrogi ini.
Kita bercengkrama, membahas entah apa saja. Aku begitu menikmati tawanya. Suara ketawanya seperti alunan jazz yang menenangkan hati. Apalagi saat dia mencubitku, itu seperti tanda kalau ia benar-benar merasa nyaman denganku. Disisinya aku merasa masalahku hilang ditelan kebahagiaan.
Sampai akhirnya, kita terdiam. Kehabisan obrolan. Tapi hatiku semakin berdebar tak karuan. Ini saatnya aku mengeluarkan benda itu. Benda yang menjadi simbol awal dari keseriusan yang paling serius. Tanganku gemetar, mulutku seperti di beri lem tikus, sangat susah mengucapkan kata-kata itu. Dengan semua kesusahan yang tiba-tiba menjamah seluruh tubuhku ini. Aku sanggup mengularkan benda itu. Dan mengucapkan kata-kata itu.
“Maukah menjadi istriku?”
Bangku taman : Bertiga
Pada sore yang cahayanya semakin memanjakan mata, aku mencoba menelan waktu dengan menulusuri kota yang makin hari makin ramai. Bukan kotanya yang ramai sih lebih tepatnya motorku, eh bukan motorku juga, lebih tepat dan tepatnya adalah hidupku. Motor matic buatan jepang yang baru saja keluar dari dealer ini membawa aku, istriku dan anakku mengelilingi kota. Platnya yang masih merah putih dan bodoynya yang masih kinyis-kinyis ini membuatku di ambang dua perasaan. Pertama, aku bahagia, karena akhirnya aku bisa mengajak istri dan anaku jalan-jalan dengan motor yang layak pakai tanpa memikirkan mogok. Dan kedua , perasaan pusing karena memikirkan cicilan yang akan selalu menghantui saat jatuh tempo. Tapi tak apa, kebahagiaan keluarga adalah nomor satu, nomor duanya nyicil utang.
Aku merasa menjadi sosok ayah yang sempurna sore ini. Istriku memeluk erat dari belakang, anakku cengar-cengar di depan. “aku suka matic, karena yang matic lebih asik” bisik istriku. Ya begitulah perempuan, berbohong untuk menenangkan pria yang sedang pusing cicilan ini. Untungnya setelah kata-kata itu keluar dari mulutnya motorku tidak mogok.
Setelah berlalu-lalang menyusuri kota, kita beristirahat di taman kota. Kita duduk pada bangku yang sama saat pertemuan dan pernyataanku kepada istriku. Entah mengapa bangku ini seperti sebuah prasasti tanpa pahatan, namun kenangannya nyata.
Walaupun sebenarnya aku bosan dengan keadaan yang berulang dan selalu sama saja, namun setidaknya aku bosan karena sebuah kebahagiaan. Itulah mengapa aku selalu menyempatkan datang ke bangku taman ini.
Angin yang berhembus pada sore yang begita mewah, sangat meyejukan hati. Aku hanya duduk dan mengamati anakku yang sedang asik bermain dengan daun-daun yang gugur, begitu juga istriku yang berdiri tepat di samping anakku. Was-was jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Aku selalu bergumam dalam hati, bersyukur atas rahmat Tuhan yang telah memberi sebuah kebahagiaan ini. Tujuan hidupku seperti sudah di depan mata. Adakah manusia yang tak ingin sebuah kesempurnaan ini? Lahir menjadi anak-anak, tumbuh dewasa, menaruh cinta pada manusia, lalu mejadi keluarga. Jika ada, mungkin bukan manusia tapi ulat bulu.
Saat sedang asik-asiknya menikmati kebahagiaan ini, tiba-tiba semua angan-angan ini runtuh. Mataku yang sedari tadi tertuju pada anak dan istriku tak sengaja melirik ke arah lain.
Sebuah objek dengan plat merah dan body kinyis-kinyis. Motorku. Seketika aku bergumam lirih.
“BAJINGAN, CICILAN MOTOR!”
Ternyata memang benar, tak ada kebahagiaan yang absolut. Sebahagia apapun manusia, akan ada derita yang mengahantui.
Bangku taman : Sendiri (Lagi)
Pada sore yang cahayanya semakin muram, aku masih duduk di bangku taman. Adzan maghrib menyadarkanku yang sudah tenggelam pada masalalu. Tak terasa air mataku sudah berserakan. Sekali lagi, bangku taman ini seperti kapal waktu. Disinilah aku bisa mengarungi lautan masalalu. tentang pertemuan, percintaan, kebersamaan, kekeluargaan, kebahagiaan. Sebelum sampai pada samudera kesepian.
Hal paling menyakitkan adalah mengenang kebahagiaan yang sudah kita rangkai. Saat itu, sebelum Tuhan memanggil istri dan anakku, bangku taman ini ditumbuhi bunga-bunga yang harumnya merasuk ke dalam hati. Sekarang, semuanya kering, layu, lalu mati. Yang tersisa hanya aku dan kenangan.
Kalau dulu aku yang menunggu mereka, sekarang giliran mereka yang menungguku di bangku taman yang begitu indah, tak seperti di dunia ini.
Aku tahu sekarang, apa yang harus di syukuri dari orang yang nasibnya lebih melang dari aku. Orang yang aku temui saat aku menlusuri kota. Pemulung, pengamen, gelandangan, dan pedagang asongan. Mereka bersyukur karena masih bisa menikmati makna dari sebuah “Keluarga”.
Semua orang mengatakan aku harus ikhlas. Iya aku paham aku harus ikhlas, aku sungguh paham soal itu. Tapi kenapa ikhlas selalu soal kehilangan? Kenapa ikhlas selalu soal kesedihan? Apakah ikhlas itu berarti melupakan? Aku tak ingin melupakan kebahagian yang telah aku rangkai.
Sore sudah dilalap malam, aku masih saja mengutuk diri. Pada akhirnya kita hanyalah tokoh dalam skenario Tuhan. Dan kita harus siap menerima peran itu. Walaupun ceritanya memiliki alurnya tak sesuai kehendak tokoh.
Dulu aku sendiri di bangku taman ini, lalu berdua, lalu bertiga, dan akhirnya sendiri lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar