Senin, 02 Desember 2019

Insting kemanusiaan dimakan sosial media


Insting kemanusiaan dimakan sosial media


Era digital sangat mempengaruhi kehidupan sosial di keseharianya. Apalagi dengan euforia konten viral. kebanyakan orang berbondong-bondong membuat konten yang bisa menjadi viral dan menjadi buah bibir banyak orang, dan itu adalah sebuah prestasi. Seolah media sudah menjadi kebutuhan primer di masyrakat. Hal yang wajar memang, karena kemajuan teknologi berkembang sangat pesat. Ketika kita tidak bisa mengikutinya, kita akan menjadi alien yang aneh di antara manusia modern.
Tapi sadar atau tidak kita dibuat lalai dengan kewajiban kita sebagai manusia itu sendiri, manusia yang mempunyai belas kasih, rasa saling menolong dan sifat kemanusiaan lainya.

Keresahan saya ini muncul saat kejadian kebakaran rumah di sebuah kota di Kabupaten Banyumas.
Saat itu saya dan teman saya sedang duduk santai di sebuah warung. Tiba-tiba ada pengumuman di masjid yang mengagetkan dan membuat panik “kebakaran, kebakaran, kebakaran”. Jarak dari warung dan tempat kejadian tidak terlalu jauh, jika di perkirakan mungkin tidak kurang dari 100 meter. Dengan terburu-buru saya dan teman saya lari ke tempat kejadian. Kaget bukan main, setelah sampai di sana api sudah besar, kepanikan dimana-dimana.

Yang membuat saya heran adalah bagaiamana refleks dari masyrakat yang datang dan melihat kejadian itu. Bukanya berbondong-bondong mencari sumber air untuk memadamkan api tapi justru berlomba merekam dan mengabadikan kejadian itu dengan ponselnya masing-masing , seakan siapa yang update pertama kali dialah yang jadi juara. Mirisnya lagi tidak ada yang berusaha membuat panggilan darurat ke pemadam. Teman saya langsung menghubungi pemadam kebakaran dan saya mencoba mengajak warga untuk mengambil ember atau apapun itu yang penting bisa untuk jadi wadah air. Banyak orang yang berdatangan, dan lagi-lagi hanya sekedar mengabadikan untuk sekedar dibuat story atau di sebarkan ke group, padahal warga sekitar sedang bergotong royong dengan cara estafet ember (karena memang jarak sumber air cukup jauh). Seakan-akan kejadian kebakaran itu adalah pertunjukan ebeg , yang bisa di tonton dengan santainya sambil ngerokok dan ceriwisan, padahal di sisi lain ada orang yang sedang berduka. Setelah 1 jam lebih api mulai mengecil, dan pemadam kebakaran datang. Masih bersyukur karena api tidak merembet ke rumah di sebelahnya.

Kemajuan di IPTEK memang sangat membantu di kehidupan sehari-hari, memudahkan kita dalam mencari informasi maupun meringankan pekerjaan. Namun dampaknya adalah kita menjadi ketergantungan. Seakan menjadi “pusat perhatian” di media sosial adalah hal yang kudu. Bagaimanapun kita masih memiliki landasan dasar Pancasila, yang di dalamnya mengangkat tinggi tentang kemanusiaan. Tak perlu meninggalkan atau menjadi manusia purba, cukup berbenah saja. Melihat luasnya dunia di sebuah layar tapi lingkungan sekitar yang nyata kita tutup mata. Semut di seberang lautan tanpak, gajah di pelupuk mata tak nampak. Miris.

6 komentar:

jam tiga

  Jam sudah menjadi dingin, detaknya membeku, jarum-jarumnya hanya mendengung meminta kehangatan. Ia berhenti pada tiga pagi. Kepalaku ter...