Minggu, 09 Februari 2020

CINTA DALAM BUKU MERAH


Gadis cendikia berparas jelitawan
Pandai bercakap, tanggap bersikap
Terlena oleh anak tani
Tampang se langka mahkota dewa
Namun berilmu hanya sebatas padi
Mereka berjumpa di balai kota
Saat petani nusantara bersuara
Menuntut hak nya yang di poranda

Mereka bersua dalam hening desa
Duduk sejajar dengan padi jawa
Mereka saling mengadu rasa
Seolah sawah hanya dua sahaja
Tak ada kata kasih dalam kisah
Yang ada hanya resah dengan pemerintah
Tentang kabir yang mulai serakah
Satu-satunya romantis adalah buku merah
Di berikanya pada anak tani yang pipinya memerah
Oleh ashar yang menjelang, mereka berpisah
Buku merah menjadi tanda tentang cinta yang merekah

Tiga belas malam tak ada kabar gadis cendikia
Rindu mulai bekerja pada porosnya
Anak tani bergumam pada malam
Mengancam lewat doa agar bertatap muka
Namun sayang, yang ter aminkan hanya muram
Ia berdiam, dengan buku merah di meja
Yang tak pernah tahu isinya
Bagaimana ia tahu, huruf saja ia buta
Lalu ia tertidur di tikam gulana

Akhir bulan september gerimis tak lagi romantis
Di ingatnya kisah di pematang sawah
Seorang gadis menatapnya teramat manis
Bersendau gurau lalu luluh dalam lelah
Namun sekarang hanya tragis yang tertawa miris

Menjelang malam penduduk desa bersliweran
Bendera gerakan komunis hilang di jalanan
Anak tani bingung di makan keadaan
Yang ia tahu hanya jam malam yang di giatkan
Ia pulang dengan kekhawatiran
Berdiam sepanjang malam
Dengan rindu yang masih besemayam

Dini hari ia terkagetkan
Gedoran pintu menggetarkan dinding
Beberapa orang bermata tajam
Mendesak masuk tanpa salam
Anak tani tak bisa bergumam
Bendo di kepalan membuatnya bungkam
“komunis bajingan!”
Teriakan itu menggema di ruangan
Anak tani tak karuan
Ia merasa tak pernah ikut gerakan
Membela diri dengan kebingungan
“Kau pikir ini kitab tuhan!”
Mereka menunjuk buku merah di meja makan
Anak tani menghela nafas dalam
Yang ia tahu buku merah hanyalah kenangan
Tiba-tiba pukulan menghujam kerongkongan
Semuanya hitam.

Buku merah terbakar
Bentuknya perlahan hilang
Bersamaan dengan pertemuan
Bersamaan dengan kerinduan
Bersamaan dengan kegelisahan
Bersamaan dengan kenangan
Bersamaan dengan kekecewaan
Hingga habis api pada sebuah kesetiaan.

jam tiga

  Jam sudah menjadi dingin, detaknya membeku, jarum-jarumnya hanya mendengung meminta kehangatan. Ia berhenti pada tiga pagi. Kepalaku ter...