Selasa, 28 Januari 2020

NUANSA SEBATANG ROKOK

NUANSA SEBATANG ROKOK

Dalam sendiri dalam ruangan yang tak bertamu. Aku coba luangkan beberapa menit untuk menyesali kehidupan. Kemirisan masalah yang terus menerus menghujat pikiran. Berupaya redam dalam tenang yang enggan berteman.

Mencari kenikmatan dunia yang tak pernah berakhir. Namun apadaya, bertahan hidup adalah jalan yang harus terus dilewati. Kebencian disana-sini, amarah yang merekah, dan patah hati yang tak terobati. Aku hanya ingin melebur semua itu dalam diam. Diam, diam, dan diam. Bagai mati suri, melihat kemewahan surga dan sibuknya neraka.

Tembakau bersama temanya, percikan api menghidupkan nyalanya. Ujungnya terlapis bara api. Hembusan pertama adalah pintu menuju ruang baru. Bersamaan dengan itu kelegaan hati ikut menguap dengan asap yang setengah masuk di kerongkongan. Beban di kepala meringan.

Kedua dan seterusnya hembusan asap itu mulai medeklarasikan imajinasi. Tatapan kosong namun lebih tenang. Mengerti bahwa sebab dan akibat adalah takdir Muallaq. Yang di kejar hanyalah sebuah bayangan fiksi. Keduniawian seakan hanyalah tikus besar yang lincah dan licik, semakin kita kejar semakain sulit juga kita mendapatkanya. Hanya lelah dan tersungkur di buatnya, tak ada makna apapun. Terlalu sering berusaha keras, tapi hasilnya adalah nihil yang besar.

Setengah batang terlewati dengan memahsyurkan masalah. Gambaran sulitnya bertahan hidup masih terpampang jelas dalam pikiran. Skema masa lalu yang membuat termenung. Teka-teki yang mulai merumit. Aku tak tahu bagaimana cara kerjanya dunia. Terkadang memihak terkadang mengelak. Bahkan membuatku tersedak dalam arak. Atau aku yang terlalu ceroboh dalam penyelesainya? Tidak, aku bukan ceroboh. Aku hanya berusaha menjawab tanda tanya itu. Tapi apa atau dimana atau bagaimana dan dengan siapa penyelesainya?


Tiga per empat batang, hati mulai gelisah lagi. Sudah saatnya aku harus mengakhiri diam ini. Pintu imajinasi mulai tertutup pelan-pelan. Aku matikan rokok. Sedikit kesimpulan melekat dalam ingatan, “hidup bukan tentang cara kita menang, namun tentang bertahan hingga surga dan neraka itu nyata”

jam tiga

  Jam sudah menjadi dingin, detaknya membeku, jarum-jarumnya hanya mendengung meminta kehangatan. Ia berhenti pada tiga pagi. Kepalaku ter...