Rabu, 17 Juni 2020

Dari Bintang Mati

Dari bintang mati

Pada malam yang tak lekas membaik
Dan pada ranjang kasur yang kusam
Bawalah aku dalam mimpi ketiadaan
Atau bawalah aku pada bintang yang mati
Lalu,
Biarkan aku di terpa dinginya atmosfer
Agar keheningan lah yang menghangatkan

Aku hanya ingin sebentar menjauhi bumi
Bumi, bumi, bumi
Sebuah tempat dimana “kebosanan” itu lahir
Sebuah tempat dimana baik dan jahat adalah sinonim
Sebuah tempat dimana kebenaran menjadi bungkam
Dan sebuah tempat dimana Tuhan tak lebih dari uang kertas

Dari bintang mati, kulihat dosa berhamburan
Seorang pemabuk muntah di depan anaknya
Anaknya diam dalam khusuk di sepertiga malam
Atau perempuan menjual cintanya di gang kota
Anaknya berdoa menunggu cinta ibunya
Dari bintang mati, Kulihat lagi
Restoran bermekaran 
Gelandangan kekeringan
Penjilat agama merajalela
Pemuka agama mati gaya

Sebuah tempat adanya rakyat
Sebuah tempat adanya melarat
Sebuah tempat adanya pejabat
Sebuah tempat adanya aparat
Sebuah tempat adanya keparat
Sebuah tempat adanya kiamat

Begitulah adanya manusia
Menelan takdir yang manis
Meludahkan takdirnya untuk mati

Minggu, 09 Februari 2020

CINTA DALAM BUKU MERAH


Gadis cendikia berparas jelitawan
Pandai bercakap, tanggap bersikap
Terlena oleh anak tani
Tampang se langka mahkota dewa
Namun berilmu hanya sebatas padi
Mereka berjumpa di balai kota
Saat petani nusantara bersuara
Menuntut hak nya yang di poranda

Mereka bersua dalam hening desa
Duduk sejajar dengan padi jawa
Mereka saling mengadu rasa
Seolah sawah hanya dua sahaja
Tak ada kata kasih dalam kisah
Yang ada hanya resah dengan pemerintah
Tentang kabir yang mulai serakah
Satu-satunya romantis adalah buku merah
Di berikanya pada anak tani yang pipinya memerah
Oleh ashar yang menjelang, mereka berpisah
Buku merah menjadi tanda tentang cinta yang merekah

Tiga belas malam tak ada kabar gadis cendikia
Rindu mulai bekerja pada porosnya
Anak tani bergumam pada malam
Mengancam lewat doa agar bertatap muka
Namun sayang, yang ter aminkan hanya muram
Ia berdiam, dengan buku merah di meja
Yang tak pernah tahu isinya
Bagaimana ia tahu, huruf saja ia buta
Lalu ia tertidur di tikam gulana

Akhir bulan september gerimis tak lagi romantis
Di ingatnya kisah di pematang sawah
Seorang gadis menatapnya teramat manis
Bersendau gurau lalu luluh dalam lelah
Namun sekarang hanya tragis yang tertawa miris

Menjelang malam penduduk desa bersliweran
Bendera gerakan komunis hilang di jalanan
Anak tani bingung di makan keadaan
Yang ia tahu hanya jam malam yang di giatkan
Ia pulang dengan kekhawatiran
Berdiam sepanjang malam
Dengan rindu yang masih besemayam

Dini hari ia terkagetkan
Gedoran pintu menggetarkan dinding
Beberapa orang bermata tajam
Mendesak masuk tanpa salam
Anak tani tak bisa bergumam
Bendo di kepalan membuatnya bungkam
“komunis bajingan!”
Teriakan itu menggema di ruangan
Anak tani tak karuan
Ia merasa tak pernah ikut gerakan
Membela diri dengan kebingungan
“Kau pikir ini kitab tuhan!”
Mereka menunjuk buku merah di meja makan
Anak tani menghela nafas dalam
Yang ia tahu buku merah hanyalah kenangan
Tiba-tiba pukulan menghujam kerongkongan
Semuanya hitam.

Buku merah terbakar
Bentuknya perlahan hilang
Bersamaan dengan pertemuan
Bersamaan dengan kerinduan
Bersamaan dengan kegelisahan
Bersamaan dengan kenangan
Bersamaan dengan kekecewaan
Hingga habis api pada sebuah kesetiaan.

Selasa, 28 Januari 2020

NUANSA SEBATANG ROKOK

NUANSA SEBATANG ROKOK

Dalam sendiri dalam ruangan yang tak bertamu. Aku coba luangkan beberapa menit untuk menyesali kehidupan. Kemirisan masalah yang terus menerus menghujat pikiran. Berupaya redam dalam tenang yang enggan berteman.

Mencari kenikmatan dunia yang tak pernah berakhir. Namun apadaya, bertahan hidup adalah jalan yang harus terus dilewati. Kebencian disana-sini, amarah yang merekah, dan patah hati yang tak terobati. Aku hanya ingin melebur semua itu dalam diam. Diam, diam, dan diam. Bagai mati suri, melihat kemewahan surga dan sibuknya neraka.

Tembakau bersama temanya, percikan api menghidupkan nyalanya. Ujungnya terlapis bara api. Hembusan pertama adalah pintu menuju ruang baru. Bersamaan dengan itu kelegaan hati ikut menguap dengan asap yang setengah masuk di kerongkongan. Beban di kepala meringan.

Kedua dan seterusnya hembusan asap itu mulai medeklarasikan imajinasi. Tatapan kosong namun lebih tenang. Mengerti bahwa sebab dan akibat adalah takdir Muallaq. Yang di kejar hanyalah sebuah bayangan fiksi. Keduniawian seakan hanyalah tikus besar yang lincah dan licik, semakin kita kejar semakain sulit juga kita mendapatkanya. Hanya lelah dan tersungkur di buatnya, tak ada makna apapun. Terlalu sering berusaha keras, tapi hasilnya adalah nihil yang besar.

Setengah batang terlewati dengan memahsyurkan masalah. Gambaran sulitnya bertahan hidup masih terpampang jelas dalam pikiran. Skema masa lalu yang membuat termenung. Teka-teki yang mulai merumit. Aku tak tahu bagaimana cara kerjanya dunia. Terkadang memihak terkadang mengelak. Bahkan membuatku tersedak dalam arak. Atau aku yang terlalu ceroboh dalam penyelesainya? Tidak, aku bukan ceroboh. Aku hanya berusaha menjawab tanda tanya itu. Tapi apa atau dimana atau bagaimana dan dengan siapa penyelesainya?


Tiga per empat batang, hati mulai gelisah lagi. Sudah saatnya aku harus mengakhiri diam ini. Pintu imajinasi mulai tertutup pelan-pelan. Aku matikan rokok. Sedikit kesimpulan melekat dalam ingatan, “hidup bukan tentang cara kita menang, namun tentang bertahan hingga surga dan neraka itu nyata”

jam tiga

  Jam sudah menjadi dingin, detaknya membeku, jarum-jarumnya hanya mendengung meminta kehangatan. Ia berhenti pada tiga pagi. Kepalaku ter...