Jumat, 20 Desember 2019

KABAR BUNGA


Tiba-tiba sebuah nama muncul di beranda Hp. Nama yang tak asing namun sulit di pahami. Karena memang nama itu hampir punah dalam daftar chatku. Hampir lebih dari 1 tahun mungkin, semenjak dia punya pacar aku tak pernah lagi berbalas pesan. Sekedar menanyakan kabar pun sudah tak pernah lagi. Aku hanya tak ingin menggangu hubungan orang lain, apalagi aku tahu pacarnya itu super posesif.

Aku dan dia pernah menjalin hubungan keakraban. Aku tidak bilang hubungan kita adalah “Pacaran”, karena aku lulusan pondok dan aku diajarkan untuk tidak pacaran. Katanya pacaran itu haram karena lebih mendekati zina. Dari pada ilmu yang aku tuntut itu sia-sia aku ganti nama saja “Keakraban”, terdengar lebih santun dan sopan. Karena menurutku saling mengenal adalah penting adanya sebelum menuju ke jenjang pernikahan. Setidaknya ketika kita sudah saling kenal akan mengurangi sedikit tingkat perceraian. Kalau belum kenal satu sama lain dan tiba-tiba nikah lalu saat sudah menikah kita baru tahu sifat dan kekurangnya. Tidak masalah jika kita bisa menerima kekurangan masing-masing, tapi kalau tidak? tak perlu aku jawab. Tapi selama satu setengah tahun aku menjalani hubungan keakraban dengan dia belum pernah sekalipun aku untuk sekedar mencium keningnya. Terlihat membosankan memang, mungkin itu alasan dia meninggalkanku. Aku pernah membaca sebuah kata-kata yang indah walaupun ini dari sang budha, “ Perbedaan suka dan cinta ibarat bunga, jika kamu suka maka akan kamu petik lalu kamu nikmati harumnya, jika kamu cinta maka akan kamu siram dan kamu rawat”.

Kaget bukan main, karena setelah buka chat darinya tidak ada hujan tidak ada angin dia menanyai kabarku, lalu aku balas dan kita terjebak dalam basa-basi masa lalu. setelah mati suri chat yang cukup panjang aku tidak menyangka hal ini bisa terjadi lagi. Tak ada pikiran tentang pacarnya yang posesif atau apapun tentang makhluk itu, yang jelas aku terlampau bahagia. Maklum saja semenjak dia memutus hubungan denganku, aku sangat down. Serasa dunia dan seisinya hanyalah kemunafikan. aku hancur oleh cinta pertamaku. Bahkan aku sampai mencoba puasa mutih selama satu bulan hanya agar do’aku dapat terkabul untuk dia kembali lagi. Tapi semua gagal, karena setelah dua minggu aku puasa mutih aku masuk rumah sakit. Bukan maag atau gangguan pencernaan, sakit jiwa kata dokter. Setelah cukup lama kita berbalas pesan, dengan singkat dia bilang “besok kita ketemu di cafe biasa, mau kan?”. Aku berjingkrak kegirangan, bunga yang aku siram tiba-tiba bersemi di musim kemarau.

Malam ini benar-benar menjelma menjadi purnama yang menawan. Berulang kali aku baca chatku dengan dia. Aku baca dengan senyum yang merekah. Setelah selesai aku baca, aku melamun membayangkan esok saat nanti kita bertemu, saat aku menatap ranum wajahnya. Lalu aku membaca chat lagi, melamun lagi, terus berulang sampai shubuh. Aku ke masjid dengan senyum yang merekah.
                
Aku bergegas bersiap, aku memakai kaos dengan gambar john mayer dan jaket yang pernah ia berikan saat aku ulang tahun. Sebenarnya dulu aku tidak terlalu suka dengan john mayer, tapi aku tau dia suka, semenjak aku dekat dengan dia aku jadi suka john mayer. Dia juga suka kopi, jadi aku memakai parfum aroma kopi juga. Terlalu banyak yang aku ingat tentang dia. Dia suka baca buku soal feminisme, dia suka warna biru, dia tidak bisa tidur kalau lampu menyala, yang palig penting dia tidak suka simalakama.
                  
Jam setengah sembilan lewat aku sudah disana. Aku sengaja datang lebih awal, karena dia bilang akan datang sekitar jam sepuluhan. Aku ingin sedikit meluangkan waktu untuk berekreasi dengan masa lalu. Cafe ini menjadi saksi saat dulu untuk pertama kalinya aku mengajak dia untuk bertemu. Kegugupanku masih tergambar jelas disini. Penjualnya yang sudah berumur juga masih setia dengan racikan kopinya. Desain cafe yang bernuansa tradisional jawa ini masih terjaga rapih. Aku duduk di tempat yang sama saat pertama kali aku bertemu denganya. Sebuah kursi dengan rajutan rotan dan meja dari kayu jati yang sudah cukup berumur memberi kesan tradisional klasik. Bahkan asbaknya pun tak kalah menarik, dengan ukiran wayang yang rapih. Mataku langsung teralihkan ke pintu masuk ketika sosok perempuan muncul, wajahnya tertimpa cahaya dari fentilasi jendela. Aku tersenyum merekah. Jantung berdetak tak karuan. Sekali lagi aku terlampau bahagia.
“hai?” sapanya lembut mengalir di telinga. Tatapanya tajam namun ranum tak banyak yang berubah hanya sedikit lebih kurus saja. Dia juga memesan kopi yang sama denganku gayo aceh aeropress. Semakin menjadi-jadi gejolak batin ini. Obrolan di awali dengan basa-basi yang tak terlalu penting, sayangnya aku hanya sibuk menjawab. Ah inilah kebodohanku selalu gugup saat bertemu dengan perempuan yang aku suka. Pikiranku buntu, yang ada hanya pertanyaan-pertanyaan haluku. Pertanyaan yang terus mengganggu setiap aku berada dalam sepi, “dia masih sayang aku atau tidak?” atau “bisakah aku kembali lagi denganya?”. Aku sangat tidak percaya diri dengan diri sendiri. Kali ini tidak, ini kesempatan.
               
“kamu sudah punya pacar?” dengan reflek tegas aku menjawab “belum”, pertanyaannya seperti ingin membangunkan mimpi-mipi yang lama terkurung dalam brankas baja yang gelap. Dia mulai menebak-nebak kenapa aku masih sendiri. Tebakanya salah semua. Dengan sedikit terpatah-patah aku mencurahkan apa yang aku rasakan selama ini, dari hari ketika dia memutuskan pergi. Dia tertawa saat aku ceritakan nasibku saat di rundung kesedihan oleh patah hati, sialan! Tertawa diatas penderitaan orang lain rupanya. Tapi memang hal-hal bodoh yang aku lakukan untuk mengobati patah hati terlampau parno. Aku juga geli sendiri. Suasana tiba-tiba hening, dia terdiam dengan mata berkaca-kaca saat aku bilang “sampai sekarang aku masih menunggu bunga itu mekar, aku merindukan wanginya”. Suasana masih hening, dia juga masih terdiam. Aku merasa bersalah, perkataanku mungkin salah.
               
Setelah 15 menit kurang mungkin, tak ada kata yang keluar hanya sebuah kepulan asap dari rokok yang aku hisap. Dia mengucapkan kata dengan pelan dan lirih, lalu menarik nafas dalam-dalam “Jadi begini, kamu masih sayang aku kan?”. Aku mengangguk dengan cepat. “kamu pasti tahu kalau tumbuhan akan berbunga, aku sangat berterimakasih karena dulu kamu sudah merawat bunga itu dengan kasih. namun aku bodoh, bunga yang kamu rawat ini tiba-tiba pergi tak tau berterimakasih. Maafkan aku”. Aku bingung apa yang ia maksud, tapi yang ku tangkap dia berusaha meminta maaf kepadaku tentang masalalu. Aku tak apa, aku baik-baik saja sekarang. Tak ada cerita yang menarik jika hanya garis lurus, maksudku ini bukan salahmu, takdir kita seperti ini. “Kamu tahu ,sudah tak ada lagi lebah yang hinggap ke bunga ini, ya benar, dia telah meninggalkanku, sekarang aku sendiri” dia berkata sambil tersendu. Aku bingung, perasaan aneh tiba-tiba muncul, antara bahagia atau nelangsa. Aku bahagia karena kesempatanku untuk kembali lagi terbuka lebar, dan nelangsa karena tiba-tiba air mata muncul dari mata ranumnya. Aku benar-benar tak tega.
                
“Dan kamu tahu kalau bunga pasti akan berbuah kan? Sekarang bungamu ini sudah berbuah tapi sayangnya lebah yang telah membawa serbuk sari dia tak bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan”. Aku sangat bingung dengan apa yang ia katakan. Aku terdiam lagi, mengambil sebatang rokok untuk mencoba menjalankan otak yang kaku ini. Dia memandangiku dengan wajah yang sedikit layu namun serius, entah apa yang ia maksud. Aku rasa dia coba mengatakan hal yang tidak main-main. “Kamu masih belum paham?” ia menarik nafas panjang “emm jadi gini, intinya sekarang aku hamil, dan dia meninggalkanku”. Dadaku sesak otaku semakin kaku bahkan seperti kram. Kata itu seperti peluru dari penembak jitu yang tiba-tiba menembus tubuhku dari belakang. Aku berusaha untuk tenang, mengendalikan suasana. Dia menangis lagi, kali ini tangisanya agak keras. Sampai-sampai penjual kopi yang harusnya sudah agak budeg itu mendengar dan menatap kaget kearah kami. Aku mengambil tisu dan mengusap air matanya, lalu aku pindah tempat duduk ke sebelahnya. Aku mengelus lembut rambutnya. Dia bersandar ke pundakku. “Apa kamu masih mau merawat bungamu ini?” suaranya yang di barengi sendu itu membekukan tubuhku.


Senin, 02 Desember 2019

Insting kemanusiaan dimakan sosial media


Insting kemanusiaan dimakan sosial media


Era digital sangat mempengaruhi kehidupan sosial di keseharianya. Apalagi dengan euforia konten viral. kebanyakan orang berbondong-bondong membuat konten yang bisa menjadi viral dan menjadi buah bibir banyak orang, dan itu adalah sebuah prestasi. Seolah media sudah menjadi kebutuhan primer di masyrakat. Hal yang wajar memang, karena kemajuan teknologi berkembang sangat pesat. Ketika kita tidak bisa mengikutinya, kita akan menjadi alien yang aneh di antara manusia modern.
Tapi sadar atau tidak kita dibuat lalai dengan kewajiban kita sebagai manusia itu sendiri, manusia yang mempunyai belas kasih, rasa saling menolong dan sifat kemanusiaan lainya.

Keresahan saya ini muncul saat kejadian kebakaran rumah di sebuah kota di Kabupaten Banyumas.
Saat itu saya dan teman saya sedang duduk santai di sebuah warung. Tiba-tiba ada pengumuman di masjid yang mengagetkan dan membuat panik “kebakaran, kebakaran, kebakaran”. Jarak dari warung dan tempat kejadian tidak terlalu jauh, jika di perkirakan mungkin tidak kurang dari 100 meter. Dengan terburu-buru saya dan teman saya lari ke tempat kejadian. Kaget bukan main, setelah sampai di sana api sudah besar, kepanikan dimana-dimana.

Yang membuat saya heran adalah bagaiamana refleks dari masyrakat yang datang dan melihat kejadian itu. Bukanya berbondong-bondong mencari sumber air untuk memadamkan api tapi justru berlomba merekam dan mengabadikan kejadian itu dengan ponselnya masing-masing , seakan siapa yang update pertama kali dialah yang jadi juara. Mirisnya lagi tidak ada yang berusaha membuat panggilan darurat ke pemadam. Teman saya langsung menghubungi pemadam kebakaran dan saya mencoba mengajak warga untuk mengambil ember atau apapun itu yang penting bisa untuk jadi wadah air. Banyak orang yang berdatangan, dan lagi-lagi hanya sekedar mengabadikan untuk sekedar dibuat story atau di sebarkan ke group, padahal warga sekitar sedang bergotong royong dengan cara estafet ember (karena memang jarak sumber air cukup jauh). Seakan-akan kejadian kebakaran itu adalah pertunjukan ebeg , yang bisa di tonton dengan santainya sambil ngerokok dan ceriwisan, padahal di sisi lain ada orang yang sedang berduka. Setelah 1 jam lebih api mulai mengecil, dan pemadam kebakaran datang. Masih bersyukur karena api tidak merembet ke rumah di sebelahnya.

Kemajuan di IPTEK memang sangat membantu di kehidupan sehari-hari, memudahkan kita dalam mencari informasi maupun meringankan pekerjaan. Namun dampaknya adalah kita menjadi ketergantungan. Seakan menjadi “pusat perhatian” di media sosial adalah hal yang kudu. Bagaimanapun kita masih memiliki landasan dasar Pancasila, yang di dalamnya mengangkat tinggi tentang kemanusiaan. Tak perlu meninggalkan atau menjadi manusia purba, cukup berbenah saja. Melihat luasnya dunia di sebuah layar tapi lingkungan sekitar yang nyata kita tutup mata. Semut di seberang lautan tanpak, gajah di pelupuk mata tak nampak. Miris.

jam tiga

  Jam sudah menjadi dingin, detaknya membeku, jarum-jarumnya hanya mendengung meminta kehangatan. Ia berhenti pada tiga pagi. Kepalaku ter...